Voyage 64 - Kerukunan Beragama
Teringat perbincangan saya dengan seorang teman di PO saat kami sedang makan siang. Saya memperhatikan dia begitu menikmati hidangan daging babi, mengingat nama yang bersangkutan begitu muslim, rasa penasaran sayapun bertanya tanpa maksud menyinggung, ternyata benar adanya dia dilahirkan dari keluarga muslim di Suriname, kedua orang tua dan saudaranya pun masih muslim, namun dia besar di Belanda dan memutuskan untuk menganut athenis seiring dengan perjalanan hidupnya disana. Bagi dia tuhan itu tidak ada, hidup ya hidup sebagaimana alam semesta berkehendak.
Saat itu saya tidak terlalu kaget, karena disini di kapal pesiar saya telah menemukan beberapa orang yang menganut athenis, sebagian besar dari Eropa dan Afrika.
Diapun menambahkan, meskipun dia atheis bukan berarti dia menghujat mereka yang beragama, justru yang saya sesalkan, tambahnya, banyaknya orang yang merasa beragama tapi perilaku mereka tidak mencerminkan kehidupan yang beragama, dan bagi dia itu adalah urusan mereka masing masing selama tidak mengganggunya. Dan satu yang paling penting saya tidak suka berdebat masalah ini.
Lain orang, lain pemikiran, salah satu teman saya dari German, sempat berujar “are you believe in God?” pada saat saya mengucap Alhamdulillah karena telah selamat sampai di tempat.
“Of course”
“Do you see him?”
“No, but I can feel it”
“How?”
Now I ask you, do you breath?
“Yes”
“do you see what you breath?”
Kehidupan beragama disini sangat diakomodasi oleh perusahaan, terbukti dengan diberikannya fasilitas dan kesempatan kepada crew untuk menjalankan ibadahnya. Untuk mulim mereka dapat melaksanakan ibadah sholat jumat di crew mess, untuk Christian diadakannya kebaktian di Hudson room seminggu sekali, bahkan apabila diperlukan akan dipanggil pastor dari daratan, begitupun untuk umat hindu mereka melaksanakan ibadah bulan purnama di area dining room. Untuk hari besar agama sudah pasti crew dapat merayakannya dengan khidmat.
Mungkin banyak yang menanyakan bagaimana kehidupan berpuasa di kapal? Sejauh yang saya alami, perusahaan menyiapkan sahur dan acara buka bersama termasuk sholat taraweh. Saya melihat jarang ada perusahaan di luar negeri yang mampu mengakomodir kegiatan keagaamaan sampai sejauh ini.
Saya masih mengingat saat melaksanakan puasa di Alaska, sahur pada jam 02-03 pagi dan buka puasa jam 10 bahkan sampai jam 11 malam. Ternyata jam yang cukup tidak biasa ini belum seberapa dibandingkan dengan mereka yang melaksanakan puasa di Norwegia, karena matahari terbit jam 1 pagi dan terbenam jam 11 malam malah sampai jam 12 malam, hampir seharian dalam keadaan siang, kita menyebutnya dengan midnight sun. Namun tidak perlu khawatir karena ternyata mereka tidak mengikuti jam puasa dengan jam terbit dan terbenamnya matahari disana, mereka mengikuti waktu negara terdekat yang mendekati waktu normal. Kebanyang kan andai mereka mengikuti jam disana, baru buka puasa sudah jam sahur lagi J.