Hejocokor

Voyage 04 - Malam Embarkasi

Skagway - Suasana malam ini terasa hectic, semua sibuk dengan tugasnya. Koridor nampak padat dengan lalu lalang crew dan troly housekeeping yang dipenuhi dengan tumpukan koper tamu sedangkan di ujung koridor dekat marsailing area* penuh dengan puluhan pallet* dari provision master dengan tumpukan box yang akan di offload (dikeluarkan dari kapal).

Sejenak saya rehat di crew bar untuk sekedar minum cranberry. Welcome package untuk embarking crew belum selesai masih menunggu kunci cabin dari Ipang. Jelas ada kesengajaan, supaya saya lembur, padahal dari sore saya sudah minta agar jam 7 malam sudah siap, tapi entahlah mungkin juga karena super sibuk sehingga belum sempat dikerjakan.

Arnold dengan muka kusut duduk dan memesan bir, disela merapihkan file hitungan minuman dari semua bar, dia mencoba untuk menahan nguap.

“Cape gw! Mana besok harus bangun pagi buat loading, heavy loading lagi”

“terus sekarang udah beres?”

“belum, gw bisa selesai jam 1 pagian, itu juga kalo cepet”

Beep dari Ipang masuk, dia info kunci untuk besok sudah selesai. Akhirnya saya bisa menyelesaikan kerjaan.

Saya bergegas menghampiri crew office untuk mengambil kunci dan antrian crew ternyata masih panjang, mereka sedang menyelesaikan dokumen kepulangan, beberapa diantaranya meminjam DVD dan dan menukar dollar. Crew office ini para pekerja tangguh, kadang saya kasihan dengan beban kerja mereka yang terlalu banyak, bukan lelah di fisik namun lebih ke stress banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dengan segera.

Lain hal nya dengan tim housekeeping, dengan ber peluh tetap semangat mendorong troly dan mengangakat koper. Pendapat saya merekalah yang paling berat beban kerja secara fisik. Pagi siang dan malam mereka mengandalkan otot. Terkadang jam istirahat tidak sempat digunakan untuk tidur, karena mereka harus siap dipanggil pada saat ada keadaan darurat.

Ada salah satu crew member housekeeping menceritakan bagaimana dia harus tetap bekerja membersihkan public area, dengan kondisi kesehatan kurang fit. Saat itu saya menanyakan apakah diinformasikan ke supervisornya, namun apa yang menjadi jawaban supervisornya sungguh mencengangkan saya. “kamu mau sakit, mau lemas, mau lapar, saya tidak peduli. Disini kamu dibayar untuk bekerja.” Yang lebih menyedihkan karena atasannya adalah orang Indonesia. Tindakan itu jelas kurang tepat. Saya melihat tipikal orang Indonesia yang memiliki posisi biasanya sikapnya jauh lebih sadis dari negara lain, meskipun tidak semua karena ada beberapa yang terlihat lebih bijak. Bagi saya pribadi saya lebih menyukai memiliki atasan dari luar Indonesia. Untuk orang Indonesia cukup sebagai rekan kerja. Karena bagi saya akan terasa lebih sakit pada saat dimaki oleh rekan bangsa sendiri.