Voyage 57 - Indonesia Dimana Dunia
Terkadang, saya sedih sebagai pekerja dari Indonesia, dimata dunia selalu diperlakukan layaknya penduduk kedua. Entahlah mungkin karena kurang kuatnya pencitraan dan kerjasama diplomatik dengan negara negara maju. Lain halnya dengan Malaysia yang selalu diperlakukan jauh lebih baik seakan sejajar dengan negara negara maju.
Hari ini, kami over night di Venice, Italy. Hal yang paling membahagiakan saat kapal menginap di daratan tentunya, para crew member bisa menikmati suasana malam di pelabuhan tersebut. Saya dan beberapa teman sudah merencanakan untuk menghabiskan malam di sebuah Club. Namun yang mengejutkan adalah adanya peraturan “Curfew” dimana untuk semua crew member dari negara yang masuk ke dalam list “restricted country” diantaranya Indonesia dan Philippines hanya diperkenankan berada di luar kapal sampai jam 10 malam. Inako!
Hal ini tidak hanya berlaku di Venice tetepi juga di sebagian besar Pelabuhan Italy, seperti Livorno dan Civitavecchia. Yang paling menyedihkan untuk kami warga negara Indonesia dan Philipines, kami harus menunggu Local Immgiration officer untuk kami bisa keluar. Karena kami harus membawa surat yang menyatakan telah diijinkan untuk keluar kapal. Sehingga banyak crew member yang tidak bisa mengikuti tour ke Roma Vatikan karena biasanya tour dimulai jam 7 pagi sedangkan officer baru datang untuk ship clearance jam 8 pagi. Sedih ya?
Ternyata tidak hanya di Italy, bahkan Croatia, menetapkan kami harus memiliki visa untuk bisa keluar kapal. Harga visa sekitar 19 dollar berlaku untuk 3 bulan. Dan semua peraturan itu tidak berlaku untuk warga negara Malaysia. Mereka diperlakukan seperti negara negara Eropa. Lain Indonesia lain hal nya dengan Israel, mereka diperlakukan layaknya penduduk terhormat, pihak kapal harus melaporkan semua warga Israel yang mengikuti tour di Livorno, karena mereka harus di pastikan keselamatannya. Inako!
Lagi, saya masih ingat ketika kami memasuki kawasan Amerika, disini perlakuan jauh lebih spekta. Pada saat crew inspection dari US Custom Board, mereka biasanya mengecek nama-nama yang dianggap memiliki nama teroris. 4 crew dari Indonesia diminta untuk menghadap officer untuk di wawancara dan terkadang mimik mereka seakan meremehkan. Pada saat antrian, kami biasanya diminta paling belakang mekipun kami datang lebih awal, mereka yang berkewaganegaraan Amerika dipersilahkan untuk langsung masuk di antrian paling depan, dan biasanya mereka hanya sekedar menyerahkan passport tanpa ada banyak pertanyaan. Kami? Selain harus menunggu lama, pada saat interview banyak pertanyaan yang harus dijawab. Sempat seorang teman saya dari USA, dia mampir ke kantor dan meminta maaf atas perlakuan officer, dia merasa bahwa officer telah berlebihan dan dia merasa malu sebagai warga negara Amerika. Beginilah nasib kami di parantauan. Kepada yang terhormat bapak pejabat Indonesia, mohon bantuannya untuk bekerja lebih keras, perkuat diplomasi dengan negara negara maju. Sehingga kami disini kami mendapatkan perlakuan yang sewajarnya.